Minggu, 05 Februari 2017

Resensi Buku

Grand Old Man of the Republic Haji Agus Salim dan Konflik Politik dalam Sarekat Islam

Bayangkanlah, apakah yang akan dikatakan Agus Salim ketika ia berhadapan dengan dilema, yang akhirnya menentukan ia memilih politik ko-operasi, bahwa strategi partai-partai yang "bekerja sama" itu sama sekali tidak mendapat tanggapan apa-apa dari pemerintah kolonial?

Dan, ketika radio Bandung mengakhiri siarannya yang terakhir karena kedatangan tentara Jepang, sang penyiar dengan nada sendu berkata, "Vaarwel, tot betere tidjen". Tetapi waktu yang lebih baik itu tak akan pernah kembali.

Periode akhir dari "zaman Kolonial" adalah saat "bertepuk sebelah tangan" dan ketika hasrat kerja sama anak jajahan dianggap sebagai permintaan anak kecil yang tak perlu diladeni. Mestikah diherankan, kalau kemudian di tahun 1945 Belanda yang ingin kembali, harus menemukan kenyataan bahwa "tempo doeloe" tak akan kembali lagi. Zaman "normal" pun telah berakhir selama-lamanya.

Tidak ada tokoh yang menjalani lingkaran dari ko-operasi kembali ke ko-operasi ini seutuhnya selain dari Haji Agus Salim. Dalam sejarah Indonesia ia dikenang sebagai pemikir Islam, tokoh pergerakan; dan, barangkali yang akan selalu melekat pada dirinya sepanjang sejarah sebagai "Grand Old Man of The Republic", karena perannya dalam sejarah Revolusi kemerdekaan (1945-1949).






https://www.bukukita.com/Biografi-dan-Memoar/Biografi/129104-Grand-Old-Man-of-The-Republic-Haji-Agus-Salim-dan-Konflik-Politik-Dalam-Sarekat-Islam.html